GENERASI COPY PESTA DAN PROFESIONALISME PENDIDIK


Pembaca yang budiman, jangan dulu metranslate kan “PESTA” diatas seperti hal nya kita melihat pesta baralek, pesta ulang tahun, dan lain-lain. Maksud penulis disini adalah “Copy Paste”, karena dalam pengucapan Bahasa inggris “Paste” di ucapkan dengan “Peist”. Dan kata dalam bahasa Indonesia kita tidak mengenal konsonan konsonan, yang ada konsonant vocal atau vocal konsonant seperti contoh di atas “Pesta”
“Tuntutlah ilmu sampai ke negri China”, itulah pepatah bijak yang diucapkan oleh setiap orang, baik oleh dosen, guru maupun oleh orang tua kepada anaknya. Memang pepatah tersebut bukan hanya isapan jempol belaka. Buktinya, China sekarang muncul sebagai pengimbang kekuatan dunia yang selama ini di dominasi oleh Barat.
Well, tapi bagaimana kita di Indonesia?, pemerintah memang sudah mengganggarkan dana untuk pendidikan tahun 2012 dari APBN sekitar 310.8 triliun tetapi tidak terlepas dari itu ternyata pendidikan masih saja dijadikan alat politik dan bisnis bagi segelintir orang sehingga input untuk anak didik sendiri tidak maksimal otomatis output itu sendiri tidak maksimal juga. Marilah kita lihat contoh sebagai berikut, potret kegelisahan public melihat realitas sekolah yang semrawut, mahal, bersifat seperti bank, dan menjadi alat kapitalisme global. Neokolonialisme telah hadir begitu dekat dengan lembaga publik yang selama ini diagungkan.Pendidikan telah mengalami proses formalisasi sekolah dan hanya sekolah yang mendapatkan legitimasi negara membuat semua warga “salah baca” terhadap pendidikan. Pendidikan dimaknai skolah dengan batasan yang amat sempit. Tugas pendidik, ujian nasional, pembangunan fisik, dan program pendidikan lainnya selalu dilekatkan pada lembaga formal yang bernama "sekolah”. Nasib orang ditulis dalam secarik kertas keramat yang bernama UN (Ujian Nasional) yang kemudian dimaknai oleh pejabat yang berwenang yang didukung oleh data dan sekaligus “data pendukung”. Data pendukung ini dibutuhkan karena ijazah dianggap belum cukup, karenanya harus ada lembaran-lembaran kecil lain yang bias mendukung ijazah ini laku atau tidak.
Image result for gambar dosen dan mahasiswa
Lebih jauh lagi, bagaimana dengan para murid yang malas untuk belajar sehingga menganggap pelajaran sebagai hal yang sepeleh atau dianggap tidak penting sehingga ke sekolah hanya sebagai pengisi bangku kosong, tidak membawa buku pelajaran, tidak pernah membaca, menulis malahan lebih parah lagi ke sekolah tidak membawa pena ataupun buku tulis. Begitu juga dengan mahasiswa yang menganggap bangku kuliahan Cuma sebagai ajang kenalan dan tempat bergaul, ketika dosen memberikan tugas kepada mahasiswa, mahasiswa tidak mengerjakanya, menganggap sepele tugas yang diberikan. Yang lebih parahnya lagi si mahasiswa mengkopi paste karya orang lain apakah itu dari internet atau media masa, sehingga waktu memberikan tugas kelihatan sekali bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa mereka. Kemudian disuruh merubah atau merombak isinya, allahuallam si mahasiswa akan mengerjakanya. Penulis sendiri geli kadang melihat pola tingkah mahasiswa seperti itu.
Selanjutnya pertanyaan yang muncul adalah “apakah si mahasiswa tetap tamat walaupun mereka melakukan kopy paste terhadap tugas maupun skripsi atau paper?”, jawabanya sudah tentu “iya” walaupun universitas terkait menamatkan generasi yang tidak berkualitas, karena sebagian kampus apalagi swasta berdalih untuk menjaga pencitraan atau image terhadap masyarakat atau merasa kasihan terhadap si mahasiswa. Sehingga waktu si mahasiswa tamat mereka Cuma menjadi sarjana-sarjanaan karena tempat kuliah Cuma dianggap tempat kuliah-kuliahan. Tidak pernah menulis kecuali menulis paper atau skripsi sekali 3 atau 4 tahun, itupun kalau mereka yang nulis, karena terkadang menulis skripsi atau paper dijadikan ajang seperti bermain bola oleh mahasiswa, ketika pemain utama cedera oleh lawan maka akan maju pemain cadangan dan pas waktu kompre datang, si jantung mahasiswa menjadi berdebar kencang bak genderang mau perang karena takut dihajar oleh dosen penguji dan waktu dosen penguji menanyakan isi skripsi keluarlah keringat dingin si mahasiswa sehingga lekatlah nama dosen dengan sebutan dosen killer karena tidak bisa mempertanggung jawabkan dengan apa yang mereka buat, ya wajar nggak lulus karena paper atau skripsi bukan mereka yang buat, dan pas tamat jadi pengangguran karena tidak punya skill untuk diandalkan.
Tentu kalau hanya menyalahkan murid atau mahasiswa tentulah hal tersebut tidaklah fair karena menghasilkan sebuah product yang unggul dan mempunyai daya tarik tersendiri tergantung bagaimana sipembuat product tersebut mengemasnya menjadi lebih menarik. Hukum pendidikan mengatakan pendidikan pada dasarnya adalah proses kumunikasi yang di dalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dari generasi ke generasi. Begitu juga dengan seorang pendidik profesional, murid akan betah dan selalu merasa haus akan ilmu pengetahuan juga tidak terlepas oleh kepintaran seorang guru atau dosen untuk memotivasi siswanya atau mahasiswanya. Untuk itu seorang pendidik harus mempunyai kompetensi:
1.      Kompetensi profesional
2.      Kompetensi personal
3.      Dan kompetensi sosial
Memang kenyataanya di lapangan masih banyak guru atau dosen yang tidak profesional walaupun guru atau dosen sudah dikasih reward dengan sertifikasi guru/dosen sehingga APBN tersedot habis hanya untuk mesertifikasi guru tetapi tetap saja hasilnya tidak memuaskan. Kenyatanya pendidikan kita masih jauh ketinggalan oleh Malaysia, Singapore, dan negara-negara lain. Sehingga kalau ada mahasiswa dari Indonesia yang ingin kuliah ke luar negri, mereka harus melakukan penyeusaian selama 1 tahun di kampus dimana mereka belajar karena dengan alasan penyetaraan.

BY


SASMIRIDO DONI

Share:

1 komentar